Responsive Ads Here

Sabtu, 23 September 2017

Masuk dan Berkembangnya Komunisme di Indonesia (Bagian II) - Agitasi dan Propaganda Komunis Melalui Surat Kabar


Sjarikat Islam, sebagai sebuah gerakan perlawanan juga menggunakan media massa sebagai salah satu alat perjuangannya. Beberapa surat kabar pernah menjadi corong bagi perlawanan Sjarikat Islam, diantaranya adalah Medan Moeslimin (15 Januari 1915). Tokoh di balik penerbitan itu adalah Haji Misbach, yang sering disebut Haji Merah, karena ingin memadukan Islam dengan Komunisme. Selain Medan Moeslimin, dua tahun setelahnya, Haji Merah juga menerbitkan Islam Bergerak. Haji Misbach di tangkap Belanda pada tahun 1920, yang mengakibatkan Medan Moeslimin dan Islam Bergerak pun merunduk1.

Selain Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, Sjarekat Islam juga mempunyai corong lain yaitu surat kabar Sinar Djawa. Surat Kabar ini terbit sebulan sekali dan dibagikan gratis kepada para kader sebagai sarana pendidikan kader. Pada tahun 1917, kepemimpinan redaksi berpindah dari Mohammad Joesoef kepada Samaoen, yang waktu itu masih belia, berumur 18 tahun. Di tangan Samaoen, bandul Sinar Djawa bergerak ke kiri, ke kutub progresif dan radikal.

Keberadaan Samaoen yang dinilai terlalu progresif dalam mengemudikan Sinar Djawa mengundang cercaan dari pelbagai pihak, walaupun tak sedikit pujian menghampirinya. Rinkes misalnya. Seorang arsivaris dan menteri yang mengurus soal pribumi dan dengan gemilang melumpuhkan Tirto Adhi Soerja pada 1912, dalam acara kunjungan peniaian jurnal pergerakan tahun 1917,mencatat adanya perbaikan mutu Sinar Djawa setelah dipegang Samaoen. Kecenderungan yang progresif dan radikal juga dinilai Tjokro sebagai pengaruh psikologis jiwa muda pengasuhnya dan bukan karena ideologi semata. Namun menurut Mohammad Joesoef,Samaoen terlalu gegabah mengemudikan Sinar Djawa karena dipengaruhi Sneevliet2.

Sikap Samaoen yang makin tidak bisa diatur dan adanya persekongkolan dengan Sneevliet menyebabkan Tjokroaminoto naik pitam. Samaoen dan Sneevliet akhirnya hengkang dari Sinar Djawa pada tahun 1922 dan membentuk Sinar Hindia. Sinar Hindia ini sempat berpindah tangan ke Sarekat Islam Semarang pada tanggal 29 September 1923, namun kembali lagi ke tangan Sarekat Rakyat pada tanggal 28 Juni 1924 seiring dengan perubahan nama Sarikat Islam Merah menjadi Sarekat Rakjat. Pada tahun 1926, pasca pemberontakan PKI, koran kiri dibungkam pemerintah Belanda hingga pendudukan Jepang tiba. Pelarang ini dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Koran-koran berhaluan kiri baru terbit kembali setelah Jepang terusir.

Pasca kemerdekaan, pada bulan November 1945, PKI menerbitkan jurnal Bintang Merah. Namun, umur Bintang Merah tidak bertahan lama karena dilarang terbit pasca pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Setelah PKI mengalami rehabilitasi, tokoh-tokoh muda PKI yang rata-rata berumur 30 tahun seperti Aidit, Njoto, Lukman, Sarkiman, dan Sudisman menerbitkan koran Harian Rakjat pada bulan Januari 1951. Harian Rakjat merupakan corong PKI untuk membendung opini negatif sekaligus sebagai media perah simpati rakyat dari berbagai kalangan.


Di tangan Njoto Harian Rakjat menjadi koran politik terbesar pada masanya. Ideologi Harian Rakjat jelas, berpihak pada komunisme dan demokrasi terpimpin. Salah satu rubrik yang terkenal di Harian Rakjat adalah lembar kebudayaan yang diisi aktifis budaya yang tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Lembar budaya Lekra ini sangat giat melakukan serangan terhadap pemikiran kebudayaan yang tidak sehaluan dengan PKI. Termasuk dalam skenario itu adalah serangan terhadap tokoh-tokoh Masyumi yang lain. Salah satunya tuduhan plagiat terhadap Buya Hamka atas novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Bukan buku itu yang penting, tetapi lebih disebabkan karena Buya Hamka adalah tokoh Masyumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar