Responsive Ads Here

Sabtu, 23 September 2017

Masuk dan Berkembangnya Komunisme di Indonesia (bagian III) - Pemberontakan PKI 1948


Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh komunis yang sempat menyingkir ke luar negeri pada masa pemerintahan kolonial satu per satu pulang ke tanah air. Pada tanggal 21 Oktober 1945, orang-orang komunis di bawah kepemimpinan Muh. Yusuf berhasil mendirikan kembali Partai Komunis Indonesia (Muhaimin Abdul Ghofur, KH. Saifuddin Zuhri; Eksistensi Agama dalam Nation Building, tulisan dalam buku Azyumardi Azra, Prof, Dr. dkk, Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta : Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998) hlm. 234). Dengan merubah gaya perjuangan yang semula bersifat underground menjadi perjuangan yang bersifat terbuka, orang-orang komunis bisa lebih leluasa untuk bergerak dan berpolitik. Beberapa tokoh mereka bahkan berhasil duduk di pemerintahan RI yang baru saja terlahir itu, seperti Amir Syarifuddin yang sempat menjabat sebagai Perdana Menteri dari 3 Juli 1947 hingga berakhir pada 29 Januari 1948.

Perkembangan Partai Komunis setelah 1945 terkait dengan perjanjian Linggarjati dan Renville, yang menurut para penentangnya membatasi wilayah Indonesia. Oposisi meluas terhadap Kabinet Amir Syarifuddin, sehingga kabinet itu jatuh pada bulan Januari 1948. Kabinet Amir Syarifuddin yang jatuh digantikan oleh Hatta. Kebijaksanaan awal Hatta adalah melakukan sterilisasi TNI dari pengaruh komunis. Kebijakan ini terkenal dengan nama reorganisasi dan rasionalisasi angkatan perang. Kebijakan ini sangat merugikan PKI, yang pada saat itu diperkirakan 35 % anggota TNI sudah terpengaruh komunis.
Pada masa ini kelompok sosialis dan komunis yang terdiri dari kelompok Amir Syarifuddin dan Syahrir menjadi oposisi, meskipun akhirnya kedua kelompok ini memilih jalan yang berbeda. Pada bulan februari 1948, Partai Sosialis Indonesia (PSI) di bawah pimpinan Syharir memberikan dukungan kepada kainet Hatta.

Golongan komunis yang berada di luar pemerintahan kemudian memulai suatu usaha untuk mendapatkan kembali kekuasaan di bawah Amir Syamsuddin. Pada bulan Februari 1948 Koalisi Sayap kiri berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat dan mencela perjanjian Renville yang sebetulnya dirundingkan sendiri oleh pemerintahan Amir Syarifuddin. Front tersebut membentuk organisasi-organisasi petani dan buruh, tetapi usaha itu hanya mencapai sedikit keberhasilan (Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965 (Yogyakarta : Jendela, 2001) hlm. 98).

Dalam konferensinya di Yogyakarta pada bulan Mei 1948, FDR menyusun beberapa rencana politiknya. Salah satu rencana FADAR adalah mempersiapkan perebutan kekuasaan negara agar mendapat kekuasaan sepenuhnya atas alat-alat pemerintah. Renca ini harus dibantu dengan aktifitas pemogokan secara besar-besaran. Jika perlu, memaklumkan perang saudara dimana Soviet dapat diminta bantuan untuk melindungi (Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998) hlm. 340-341).

Dengan kembalinya Muso pada 11 Agustus 1948, PKI seolah-olah mendapatkan suntikan baru. Muso dengan cepat bisa menggeser politbiro PKI yang saat itu dipegang olej Sardjono dan Alimin. Untuk mengevaluasi kebijakan politik PKI dan juga pemerintah Republik Indonesia, Muso mengeluarkan sebuah konsep perjuangan yang dikenal dengan istilah Jalan Baru Muso (Muhammad Isa Anshary, Mr. Yusuf Wibisono, dan Syarif Usman, Bahaja Merah di Indonesia (Bandung : Front Anti Komunis, 1955) hlm. 33). Konflik antara PKI dengan pemerintah Republik Indonesia pasca jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948, yang ditandai dengan pemberontakan PKI di Madiun. Saat itu, PKI berhasil menguasai kota Madiun dan kemudian mengangkat Kolonel Djokosuyono sebagai Gubernur Militer Madiun (Subhan SD, Langkah Merah : Gerakan PKI 1950 – 1955 (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1999) hlm. 8-10).

Radio setempat terus menyiarkan langsung pidato propaganda PKI. Korban terus berjatuhan di Madiun bahkan sampai ke Solo. Salah satunya adalah dr. Muwardi, ketua Gerakan Reolusi Rakjat A(GRR) yang menentang Amir Sjarifuddin sewaktu Amir menjadi perdana menteri. Tanggal 19 September 1948, PKI/FDR di bawah Muso memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” di Madiun.

Wajah Madiun pun dirombak total sehingga menyerupai Soviet Republik Indonesia. Sebagai walikota ditunjuk Abdulmutalib, seorang tokoh utama komunis. Pajak ditiadakan, karena dianggap tidak mencerminkan suatu negara yang demokratis. Tetapi rakyat diwajibkan mendaftarkan berapa jumlah emas dan penguasanya kepada penguasa. Tidak seorangpun diperbolehkan memiliki uang lebih dari lima ratus rupiah. Saat pasukan Republik Indonesia merengsek ke dalam kota Madiun, pasukan PKI dan para gembongnya kalang kabut lari ke gunung-gunung.

Muso akhirnya tewas dakan baku tembak antar pasukan, sedangkan Amir Syarifuddin akhirnya dihukum mati pada 19 Desember 1948. Pada saat yang sama, empat orang tokoh utama PKI yang sempat tertangkap bisa lari dari penjara. Mereka adalah “ Abdulmadjid, Alimin, Tan Ling Djie dan DN Aidit. Pemberontakan PKI Madiuan ini mengakibatkan PKI kembali berjuang secara underground. Pelarian para tokoh PKI tersebut akhirnya berhasil kembali menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia. Alimin berhasil mengaktifkan kembali PKI setelah medapatkan izin melaui Surat Keputusan Pemerintah RIS pada tanggal 14 Februari 1950. Alimin kemudian digantikan oleh Aidit dan M H Lukman, dimana keduanya kembali menyatukan semua potensi PKI dan menegaskan perlunya koalisi antara kaum buruh dan kaum tani. Kepemimpinan Aidit menjadi semakin kokoh setelah tokoh-tokoh muda seperti Njoto dan Sudisman bergabung6. Selain itu kepemimpinan Aidit semakin populer dengan terbitkan koran politik PKI, Bintang Merah pada tahun 1950. Koran ini berhasil menjadi sarana PKI untuk merehabilitasi nama sekaligus melancarkan propagandanya.


Artikel ini merupakan bagian dari makalah ilmiah berjudul: Komunisme/Marxisme-Leninisme Pasca Reformasi Indonesia

Penulis: Arif Wibowo – Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar