Responsive Ads Here

Selasa, 13 Februari 2018

Belajar dari Peristiwa Penyerangan Gereja Santa Lidwina

Beberpa hari ini masyarakat dibuat resah dengan terjadinya kekerasan terhadap beberapa pemuka agama. Yang terakhir dan yang menyedot perhatian masyarakat adalah penyerangan yang diakukan seorang pemuda terhadap jemaah gereja Santa Lidwina di Bedog, Sleman, Yogyakarta. Belakangan diketahui bahwa penyerang bernama Suliono, pemuda asal Bayuwangi yang baru beberapa hari tinggal di Jogja.

Sontak, hanya dalam waktu beberapa menit, peristiwa tersebut menuai reaksi dari para tokoh dan elit poitik dari berbagai kalangan. Berabagai kutukan dan kecaman disampaikan. Mulai dari soal toleransi hingga masalah terorisme. Padahal polisipun belum memulai penyelidikan.

Media mainstreem dengan semangatnya menggoreng habis peristiwa ini, dengan iformasi yang masih secuil di bumbui dengan opini yang diulang-ulang.

Secara tidak sadar, atau mingkin memang disengaja, mereka (para elit dan media) telah mengarahkan pada anggapan bahwa telah terjadi masalah besar dan bersiap siap untuk menunjuk orang atau pihak tertentu yang akan disalahkan (lebih tepatnya dikambing hitamkan).

Padahal, jika ingin simple, polisi bisa juga menyatakan bahwa penyerangan dilakukan oleh orang gila atau orang yang menderita gangguan jiwa. Seperti pada kejadian-kejadian sebelumya yang menimpa para pemuka agama Islam di beberapa tempat di Jawa Barat.

Seperti diketahui, tindakan keji sebelumnya juga menimpa dua ulama di Jawa Barat. Yakni pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung KH Umar Basri dan Komando Brigade PP Persis Ustaz Prawoto. Ustadz Prawoto meninggal dunia akibat penganiayaan yang terjadi pada 1 Februari itu. Kedua pelaku dalam peristiwa tersebut, hanya dalam waktu beberapa jam setelah kejadian, oleh polisi dinyatakan sebagai orang gila.

Meski pernyataan polisi dirasa janggal, masyarakat Jawa Barat tidak terpancing emosi untuk melakukan tindakan kekerasan. Mereka hanya melampiaskan kekecewaan melalui media sosial. Barangkali, di benak mereka ada keyakinan bahwa mereka sedang dipancing untuk melakukan kekerasan yang kemudian akan dipakai alasan oleh pihak tertentu untuk menyudutkan mereka sebagai kaum radikal, intoleran atau apalah. Apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi politik jelang pilkada.

“BIARKAN MEREKA BEREBUT PANGGUNG, KITA NGGAK USAH NONTON.” Barangkali itulah yang pikiran yang ada di benak masyarakat di tingkat bawah. Sikap mereka sangat berbeda dengan pernyataan para elit politik yang terkesan overdosis dan terburu-buru mengambil kesimpulan terhapap peristiwa yang terjadi di Gereja Santa Lidwina. 


Masyakat Jogja terutama yang berada di sekitar gereja bersama-sama tanpa membedakan agama, suku dan golongan bersama-sama membersihkan Gereja Santa Lidwina sesaat setelah garis polisi dilepas oleh petugas. Mereka bekerja atas kemauan sendiri, atas dorongan hati nurani yang bersih, tanpa ada yang mengkordinir. Masihkah ada yang ingin mengatakan terjadi krisis toleransi antar umat beragama?

Rakyat sudah semakin cerdas. Mereka tahu bahwa ada pihak yang ingin mengadu domba antar pemeluk agama, entah untuk kepentingan siapa. Dan mereka mempunyai cara sendiri untuk menangkal semua itu. Ada baiknya para elit negeri ini belajar dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar