Responsive Ads Here

Jumat, 22 September 2017

KEHIDUPAN BERAGAMA DI NEGARA KOMUNIS (CHINA)

Menjelang Olimpiade Beijing pada musim semi tahun 2008, banyak orang terkejut dengan kerusuhan di Tibet dan reaksi penuh semangat yang mereka dapatkan di seluruh dunia di antara orang-orang China dan Tibet di luar negeri. Pelabelan Dalai Lama oleh media China  sebagai "tokoh jahat" sepertinya menggambarkan Kekhawatiran rezim ateis China tersebut terhadap orang paling suci dari orang Tibet. Sebelumnya, berlakunya undang-undang yang mengatur bagaimana para lama bisa bereinkarnasi muncul sebagai gambaran sebuah negara otoriter yang berusaha untuk memperluas kontrolnya tidak hanya untuk hidup ini, tapi bahkan di luar itu. Dalam contoh khusus ini, absurditas yang nyata adalah bahwa sebuah pemerintahan dan partai politik yang berkuasa yang menganut ideologi atheisme militan dapat mengklaim sebagai pihak yang paling berkompetensi dalam bidang apa pun termasuk dalam menentukan siapa, kapan, di mana, dan bagaimana reinkarnasi bisa dilakukan. Setiap tahun, organisasi hak asasi manusia telah mengkritik pemerintah China karena pendekatannya yang keras terhadap kelompok agama: penganiayaan terhadap orang-orang Kristen, dan pelecehan terhadap kaum Muslim di Xinjiang yang dituduh kegiatan separatis atau teroris. Meskipun perlindungan konstitusional ditawarkan kepada orang-orang percaya agama, pemerintah Republik Rakyat Cina mencoba untuk sebisa mungkin mengendalikan dan membatasi ekspresi semangat keagamaan.

Tapi ada sisi lain hubungan antara negara dan agama di China. Wisatawan diundang untuk mengunjungi kuil-kuil Budha yang telah dipulihkan dengan dukungan yang luar biasa dari negara. Mereka diberitahu bahwa ini adalah bagian dari tradisi luhur Cina. Para ilmuwan di China dan di luar negeri akan meyakinkan bahwa China memiliki tradisi keagamaan yang kaya yang sudah mengakar dari berabad abad lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Tapi semuanya itu hanyalah untuk kepentingan ekonomi, menarik wisatawan luar negeri serta untuk kamuflase untuk menghindari tekanan dari lembaga Hak Asasi Manusia Internasional. Pada kenyataannya ketika agma tidak memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, pendapatan negara, di banyak daerah di China, negara sering tampak menutup mata terhadap sekte kuil populer  di banyak wilayah pedesaan.

Pengendalian Negara terhadap Agama di China: Konteks Historis

Di China Negara selalu berusaha untuk mengendalikan agama, dan otoritas keagamaan yang tidak tunduk pada negara akan dianggab melawan negara dan dicap sebagai pemberontak. Jika pemisahan antara agama dan negara merupakan karakteristik utama peradaban Barat modern, di China lebih tepat dikatakan sebagai integrasi agama kedalam negara. Tidak hanya karena elite politik yang membutuhkan legitimasi dari agama dengan imbalan pengakuan terhadap agama tersebut, namun negara itu sendiri, atas dasar "Mandat Surga", mengklaim memiliki otoritas tertinggi dalam masalah agama. Disatu sisi negara sering memanfaakan agama tapi dilain sisi ketika  ajaran agama dianggab sebagai penghalang atas kewenangan mereka, maka mereka akan bertindak keras terhadapa agama. Intinya dengan bahasa yang lebih sederhana, “Tuhan harus tunduk pada Negara.”

Evolusi Kebijakan Agama Partai Komunis China(PKC)
Menurut historiografinya, kebijakan bidang agama Partai Komunis melewati empat fase: dari awal sejarah Partai pada tahun 1921 sampai 1949;periode United Front (1949 sampai 1957); ekses "kiri"(1957-1978); dan era reformasi (1978-sampai sekarang).

KEBIJAKAN KOMUNIS SEBELUM 1949
Sebelum PKC (Partai Komunis China) mengambil alih kekuasaan, pandangannya tentang agama bersumber dari tiga pandangan yang berbeda: Gerakan May Fourth, Marxisme-Leninisme, dan pandangan Mao Zedong sendiri.

Gerakan May Fourth dihasilkan dari iklim ketidakstabilan politik yang menyusul runtuhnya dinasti Qing pada tahun 1911, dan dari kondisi ketidakmampuan pemerintah China untuk menghadapi sangsi yang diberlakukan oleh kekuatan Barat setelah Perang Dunia I. Dimana nilai-nilai Konghucu tradisional yang sebelumnya mereka banggakan mulai dipertanyakan dan dianggab sebagai akar penyebab ketidak mampuan China untuk bangkit dari keterpurukan..

Marxisme-Leninismemewakili pertemuan dua tren di Barat. Karl Marx menegaskan bahwa keyakinan agama hanyalah merupakan bentuk pelarian manusia atas ketidak berdayaannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi yaitu masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Jika masalah ketidak adilan, ketimpangan sosial dan ekonomi dapat diatasi dan mencapai masyakat yang mereka sebut masyarakan komunal maka mereka tidak lagi perlu menggantungkan harapan pada “candu masyarakat”  yang diberikan oleh agama. Oleh karena itu tidak perlu menganiaya orang-orang beriman: jika kondisi keberadaan agama telah dihapus, maka hal itu akan sangat menyimpang.

Mao Zedong setuju dengan Marx dan Lenin tentang asal mula agama dalam hubungan sosial yang tidak setara, tetapi setelah Mao menyadari bahwa China tidak dapat berhasil mencapai revolusi sosialis melalui kelas pekerja perkotaan, yang hanya mewakili sebagian kecil masyarakat, dan harus bergantung pada kaum tani untuk mencapai tujuan transformasi sosialnya, dia tidak setuju dengan proposisi mereka bahwa tidak perlu secara paksa menghilangkan kepercayaan agama. Dia sesuakan pandangannya itu dengan strategi United Front, di mana Partai menempa aliansi dengan kelas dan kelompok yang berbeda , termasuk kelompok orang-orang beragama, selama mereka mendukung tujuan anti-imperialis Partai. Pada akhirnya, bagaimanapun, Mao setuju dengan Lenin dan pemimpin komunis lainnya dan mendukung pandangan bahwa anggota Partai sendiri harus atheis.

Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa selamanya komunisme tidak dapat bersatu dengan agama manapun dan tidak akan dapat diterima dalam masyarakat beragama kecuali dengan paksaan. (bersambung-Insya Allah pada posting berikutnya)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar