Responsive Ads Here

Senin, 18 September 2017

KISAH PILU ETNIS ROHINGNYA - PENDERITAAN YANG TAK BERUJUNG

Krisis Migran Rohingya-Ratusan ribu orang Rohingya, sebuah kelompok etnis minoritas Muslim, melarikan diri dari penganiayaan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, telah memicu terjadinya krisis migrasi di Asia Tenggara.
Muslim Rohingnya berlari dari api yang membakar desa mereka.
Kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar sejak akhir 1970-an telah memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya untuk meninggalkan rumah mereka dari negara yang berpenduduk mayoritas beragama Budha. Sebagian besar telah menyeberang melalui darat ke Bangladesh, sementara yang lainnya menyeberang melalui ke laut untuk mencapai Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Kekerasan baru yang terjadi, termasuk pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran yang dilaporkan pada 2016 dan 2017, telah menyebabkan terjadinya arus pengungsi yang siknifikan dari orang-orang Rohingnya di bagian barat Myanmar. Kesengsaraan mereka semakin bertambah dengan sedikitnya tanggapan dari negara-negara tetangga Myanmar, yang lamban mengakomodasi lonjakan pengungsi.

Lalu Siapakah sebenarnya etnis Rohingya itu? Rohingya adalah etnis minoritas Muslim  yang mempraktikkan ajaran Islam Sunni-sufi. Sebagian besar, kira-kira satu juta orang, tinggal di Negara Bagian Rakhine, kurang lebih sepertiga dari populasi tersebut. Mereka berbeda secara etnis, linguistik, dan religius dari kelompok Buddha yang dominan di Myanmar.

Orang Rohingnya diketahui sudah ada di wilayah ini sejak abad lima belas ketika wilayah ini diperintah oleh sebuah Kerajaan Islam Arakan. Banyak juga yang tiba pada abad kesembilanbelas dan awal abad ke-20, ketika Rakhine diatur oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari Inggris India. Sejak merdeka pada tahun 1948, pemerintah  Burma, yang pada tahun 1989 menjadi Myanmar, telah menolak klaim historis Rohingya dan menolak pengakuan kelompok tersebut sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di negara tersebut . Rohingya sebagian besar dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh, meskipun banyak yang menelusuri akar mereka di Myanmar beberapa abad yang lalu.

Baik pemerintah pusat maupun kelompok etnis Rakhine yang dominan, yang dikenal sebagai Rakhine, menyebutnya "Rohingya," sebuah  self-identifying term  yang muncul pada tahun 1950an, yang menurut para ahli memberi identitas kolektif kepada kelompok tersebut. Meskipun akar etimologis dari kata tersebut diperdebatkan, teori yang paling banyak diterima adalah bahwa Rohang berasal dari kata "Arakan"dalam dialek Rohingya dan ga atau gya berarti "dari." Dengan mengidentifikasi sebagai Rohingya, menurut Chris Lewa, direktur Proyek Arakan, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Thailand,  kelompok etnis Muslim ini menegaskan hubungannya ke tanah yang dulunya berada di bawah kendali Kerajaan Arakan.

Bagaimana status hukum Rohingya?
Pemerintah menolak memberikan kewarganegaraan kepada orang Rohingya, dan akibatnya sebagian besar anggota kelompok tersebut tidak memiliki dokumentasi hukum, yang secara efektif membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Undang-undang kewarganegaraan Myanmar 1948 sudah masukkan mereka sebagai warga negara, tapi junta militer, yang merebut kekuasaan pada tahun 1962, memperkenalkan sebuah undang-undang yang melucuti  etnis Rohingya untuk mendapatkan kewarganegaraan penuh. Sampai saat ini, Rohingya hanya bisa mendaftar sebagai penghuni sementara dengan kartu identitas, yang dikenal sebagai kartu putih, sehingga junta mulai mengeluarkan banyak Muslim, baik Rohingya maupun non-Rohingya, pada 1990-an. Kartu putih memberi  hak terbatas namun tidak berlaku sebagai bukti kewarganegaraan. Meski begitu, Lewa mengatakan bahwa mereka memberikan beberapa pengakuan untuk tinggal sementara bagi Rohingya di Myanmar.

Pada tahun 2014 pemerintah mengadakan sensus nasional yang didukung oleh PBB , yang pertama dalam tiga puluh tahun. Kelompok minoritas Muslim pada awalnya diizinkan untuk mengidentifikasi sebagai Rohingya, namun setelah nasionalis Buddhis mengancam untuk memboikot sensus tersebut, pemerintah memutuskan bahwa Rohingya hanya dapat mendaftar jika mereka mengidentifikasi orang Bengali.

Demikian pula, di bawah tekanan dari nasionalis Buddhis yang memprotes hak Rohingya untuk memilih dalam referendum konstitusional 2015, maka Presiden Thein Sein membatalkan kartu identitas sementara pada bulan Februari 2015 yang secara efektif mencabut hak yang baru mereka dapatkan untuk memilih. (Pemegang kartu putih diizinkan untuk memilih dalam referendum konstitusional Myanmar tahun 2008 dan pemilihan umum 2010.) Pada pemilihan 2015, yang dipuji secara luas oleh pemantau internasional sebagai pemilu yang bebas dan adil, tidak ada kandidat parlemen yang beragama Islam. " Sentimen anti-Muslim di seluruh negara  membuat pemerintah sulit untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap mendukung hak-hak Muslim," tulis International Crisis Group.


Minoritas Muslim terus "mengkonsolidasikan di bawah satu identitas Rohingya," kata Lewa, terlepas dari berbagai catatan oleh kelompok hak asasi manusia dan periset tentang pencabutan hak asasi manusia , kekerasan, dan contoh kampanye anti-Muslim yang sistematis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar