Responsive Ads Here

Rabu, 20 September 2017

DUNIA BUTA TERHADAP KEKERASAN YANG MENIMPA MUSLIM ROHINGNYA


Mungkin bagi kita akan sulit membayangkan, bagaimana seorang pemuka agama, biksu Buddha, menyiramkan bensin untuk  membakar orang hidup-hidup. Sulit juga membayangkan bahwa yang menjadi korbannya adalah  seorang Muslim. Selama ini telah berlaku Stereotipe  bahwa Budha adalah agama damai dan Islam dicitrakan sebagai agana kekerasan, teroris dsb. Namun, peristiwa brutal di Burma dengan jelas menunjukkan bahwa tidak selalu keyakinan kita sesuai dengan kenyataan. Dan meski ada upaya untuk mengaburkan maslah yang sebenarnya dengan menyalahkan korban namun kenyataan tidak selamanya dapat ditutupi.

Entah mengapa peristiwa mengerikan ini tidak menarik perhatian bagi banyak kalangan terutama para pemimpin dunia jangankanmenjatuhkan sangsi kepada pemerinah Myanmar, sekedar mengutukpun mereka enggan. Mereka seakan membiarkan ketika orang tak bersalah tiba-tiba menjadi orang buangan, terusir dari tanahnya sendiri, terkatung kaung tanpa status kewarga negaraan yang jelas. Sedangkan yang berusaha untuk bertahan harus menerima nasib yang lebih buruk, dianiaya tanpa peri kemanusiaan, diperkosa, kemudian dibunuh dengan cara yang sangata biadab.

Rohingnya adalah orang-orang yang mengaku Islam di Myanmar, penduduk asli wilayah Rakhine modern, sebelum mereka memiliki negara mereka sendiri yang disebut Arakan. Wilayah yang dihuni oleh Rohingnya dianeksasi ke Burma baru pada tahun 1700-an. Menurut sensus yang diadakan pemerintah Burma, pada tahun 2012 jumlah Muslim yang tinggal di Myanmar adalah 800.000 orang, menurut sumber lain, jumlahnya lebih dari satu juta. Perserikatan Bangsa-Bangsa percaya bahwa mereka adalah salah satu minoritas paling teraniaya di dunia. Dan penganiayaan ini terjadi pada Perang Dunia Kedua, ketika tentara Jepang menyerang Burma, yang saat itu berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Pada tanggal 28 Maret 1942 di kota-kota Minbai dan Mrohaung, nasionalis Rakhine membunuh 5.000 Muslim.


Pada tahun 1978, 200.000 Muslim melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer berdarah. Pada tahun 1991-1992  ada 250 ribu orang lagi, dan 100 ribu pergi ke Thailand.

Musim panas yang lalu, dengan diam-diam, telah terjadi lagi pembantaian massal umat Islam. musim semi tahun ini, kekerasan semakin  menjadi. Menurut beberapa laporan, sampai saat ini, 20.000  Muslim telah terbunuh, dan ratusan ribu pengungsi tidak dapat menerima bantuan kemanusiaan. Penindasan modern dilakukan pada tingkat yang berbeda dengan metode yang lebih canggih. Otoritas seolah membiarkan pembantaian oleh para biksu Buddha, polisi dan tentara tidak acuh pada korban dan  bahkan kadang-kadang berpihak pada pihak penindas.

Rohindja tidak hanya dibasmi secara fisik, selama puluhan tahun orang-orang malang ini telah diusir, dilanggar, mengalami kekerasan fisik dan emosional yang mengerikan oleh Pemerintah Myanmar. Setelah menyatakan bahwa umat Islam sebagai orang asing, karena mereka dianggap hanya imigran dari Bangladesh, orang Rohingnya kehilangan kewarganegaraannya. Pemerintah mengakui 135 etnis minoritas yang berbeda, namun tidak ada Rohingnya di antara mereka.
Orang-orang yang teraniaya oleh tekanan dengan berbagai cara, termasuk larangan mutlak dan tidak dapat dibenarkan oleh sebagian besar komunitas Buddhis dalam pekerjaan di sektor swasta atau publik, serta larangan layanan di polisi atau angkatan bersenjata. Atau, jika seseorang direkrut dalam kasus yang jarang terjadi, mereka diwajibkan untuk menjalani ritual Buddhis, yang tentu saja tidak sesuai dengan Islam. Mereka menjadi sasaran perbudakan modern melalui kerja paksa. Karena kenyataan bahwa pemerintah nasional menolak hak kewarganegaraan di tanah air mereka, banyak dari tanah mereka disita, dan gerakan mereka di seluruh negeri terbatas, ada batasan diskriminatif terhadap akses terhadap pendidikan. Juga, ada pembatasan ketat pada setiap keluarga Muslim untuk tidak memiliki lebih dari dua anak, sesuai dengan hukum Burma. Dan untuk menikah mereka harus membayar beberapa ratus dolar. Jika mereka menikah secara tidak sah mereka dianiaya dengan kejam dan dihukum dengan hukuman penjara.

Mengapa penganiayaan atas dasar agama, pencabutan status warga negara, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat ditolerir. Pembunuhan dan penindasan tidak bisa tetap dibiarkan. Ini bukan perang tetapi pembantaian, desa-desa yang semula damai dihancurkan, wanita dan anak-anak yang tidak berdosa terbunuh. Mereka dibakar hidup-hidup! Tapi mengapa masih ada ong yang yang sinis dan  dengan kejam mencari-cari pembenaran terhadap kejahatan kemanusiaan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar